PENCEMARAN UDARA OLEH KEGIATAN ALAM


Pencemaran Udara oleh Aktivitas Alami
Beberapa kegiatan alam yang bisa menyebabkan pencemaran udara adalah kegiatan gunung berapi, kebakaran hutan, kegiatan mikroorganisme, dan lain-lain. Bahan pencemar yang dihasilkan umumnya adalah asap, gas-gas, dan debu.

Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Hutan
Penyebab Kebakaran Hutan
Berdasarkan  lokasi  biomassa  dan  perilaku  api, Ebert,  1988 mengelompokkan  kebakaran  hutan  kedalam  4 (empat)  tipe,  yaitu:  Ground Fire,  Surface  Fire,  Crown  Fire, Mass  Fire,  yang masing-masing mempunyai skala dampak yang berbeda. Indonesia  adalah  salah  satu  negara  yang mempunyai  risiko  terkena dampak  EL-NINO  dan  La-Nina.  Dampak  dari  EL-NINO  menimbulkan perubahan  iklim,  antara  lain musim  panas  yang  berkepanjangan  sehingga menimbulkan  kekeringan,  dan  pada  akhirnya  menjadi  salah  satu  factor pencetus  kejadian  kebakaran  hutan. Menkes-RI,  2003 menyebutkan bahwa kebakaran hutan yang  terjadi di Indonesia merupakan kasus yang berulang dalam  beberapa  tahun  terakhir.  Tercatat  kebakaran  hutan  terbesar  di Indonesia  terjadi  pada  tahun  1997,  sekitar  3,5  juta  hektar  hutan  di Kalimantan  habis  terbakar.  Kebakaran  ini  disusul  dengan  kebakaran  besar tahun 1998.
Applegate,  G.  dalam  Cifor,  2001  mengatakan  bahwa  terdapat perbedaan  pemahaman  penyebab  yang  mendasari  terjadinya  kebakaran. Departemen  Kehutanan,  misalnya,  menyalahkan  para  peladang  berpindah sebagai  penyebab  kebakaran  di  Kalimantan.  Di  pihak  lain,  para  pecinta lingkungan  hidup  menyebutkan  bahwa  kebakaran-kebakaran  yang  terjadi merupakan  akibat  pengelolaan  hutan  yang  buruk.  Kemudian  pemerintah menyalahkan  “suku-suku  pengembara”  yang  melakukan  perladangan berpindah  atas  kebakaran  yang  terjadi.  Organisasi-organisasi  lingkungan hidup menyalahkan perusahaan-perusahaan kayu dan perkebunan. Penelitian  Cifor  2001, mengidentifikasi  empat  penyebab  langsung dari kebakaran, dan enam kekuatan yang mendasari terjadinya kebakaran. Dikatakan bahwa identifikasi ini bukan penggolongan yang bersih dan berdiri sendiri, banyak penyebab kebakaran yang saling terkait erat satu sama lain.
1)      Pembersihan lahan
Api  merupakan  alat  yang  murah  dan  efektif  untuk  membersihkan lahan, dan disukai oleh usaha-usaha skala besar yang  ingin memberikan material kayu berkualitas rendah untuk dapat menanam tanaman industri seperti karet dan kelapa sawit. Areal perkebunan kelapa sawit meningkat dari 120.000 hektar di tahun 1989 menjadi hampir 3 juta hektar di tahun 1999.
2)      Kebakaran tak disengaja Kebakaran  yang  tak  disengaja  akibat  api  yang  berkobar  liar merupakan penyebab penting kedua.
3)      Api sebagai senjata
Pembakaran menjadi  faktor penting di pedesaan  Indonesia di  tahun-tahun  terakhir.  Para  petani  dan  masyarakat  lokal  yang  merasa diperlakukan  tidak  adil  dengan  hilangnya  tanah  mereka  yang  ‘diambil’ oleh  perusahaan-perusahaan  perkebunan  sekarang  menggunakan  api.
4)      Kekurang cukupan pencegahan kebakaran Seringkali,  bahkan  terlalu  sering  tidak  ada  lembaga  yang  kompeten untuk mencegah kebakaran secara tepat. (Cifor,2001).
Dampak Kebakaran Hutan
Dampak yang ditimbulkan kebakaran hutan ternyata sangat kompleks. Kebakaran hutan tidak hanya berdampak terhadap ekologi dan mengakibatkan kerusakan lingkungan saja. Namun dampak dari kebakaran hutan ternyata mencakup bidang-bidang lain.
Menurut Rully Syumanda (2003), menyebutkan ada 4 aspek yang terindikasi sebagai dampak dari kebakaran hutan. Keempat dampak tersebut mencakup dampak terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi, dampak terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan, dampak terhadap hubungan antar negara, serta dampak terhadap perhubungan dan pariwisata.
Dampak Terhadap Sosial, Budaya, dan Ekonomi. Kebakaran hutan memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi yang diantaranya meliputi:
  1. Terganggunya aktivitas sehari-hari; Asap yang diakibatkan oleh kebakaran hutan secara otomatis mengganggu aktivitas manusia sehari-hari, apalagi bagi yang aktivitasnya dilakukan di luar ruangan.
  2. Menurunnya produktivitas; Terganggunya aktivitas manusia akibat kebakaran hutan dapat mempengaruhi produktivitas dan penghasilan.
  3. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan; Selain itu, bagi masyarakat yang menggantungkan hidup dari mengolah hasil hutan, dengan terbakarnya hutan berarti hilang pula area kerja (mata pencarian).
  4. Meningkatnya hama; Kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian spesies dan merusak keseimbangan alam sehingga spesies-spesies yang berpotensi menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu, terbakarnya hutan akan membuat sebagian binatang kehilangan habitat yang kemudian memaksa mereka untuk keluar dari hutan dan menjadi hama seperti gajahmonyet, dan binatang lain.
  5. Terganggunya kesehatan; Kebakaran hutan berakibat pada pencemaran udara oleh debu, gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain.
  6. Tersedotnya anggaran negara; Setiap tahunnya diperlukan biaya yang besar untuk menangani (menghentikan) kebakaran hutan. Pun untuk merehabilitasi hutan yang terbakar serta berbagai dampak lain semisal kesehatan masyarakat dan bencana alam yang diambilkan dari kas negara.
  7. Menurunnya devisa negara. Hutan telah menjadi salah satu sumber devisa negara baik dari kayu maupun produk-produk non kayu lainnya, termasuk pariwisata. Dengan terbakarnya hutan sumber devisa akan musnah. Selain itu, menurunnya produktivitas akibat kebakaran hutan pun pada akhirnya berpengaruh pada devisa negara.

Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan. Kebakaran hutan memberikan dampak langsung terhadap ekologi dan lingkungan yang diantaranya adalah:
  1. Hilangnya sejumlah spesies; selain membakar aneka flora, kebakaran hutan juga mengancam kelangsungan hidup sejumlah binatang. Bebrabagai spesies endemik (tumbuhan maupun hewan) terancam punah akibat kebakaran hutan.
  2. Erosi; Hutan dengan tanamannya berfungsi sebagai penahan erosi. Ketika tanaman musnah akibat kebakaran hutan akan menyisakan lahan hutan yang mudah terkena erosi baik oleh air hujan bahkan angin sekalipun.
  3. Alih fungsi hutan; Kawasan hutan yang terbakar membutuhkan waktu yang lama untuk kembali menjadi hutan. Bahkan sering kali hutan mengalami perubahan peruntukan menjadi perkebunan atau padang ilalang.
  4. Penurunan kualitas air; Salah satu fungsi ekologis hutan adalah dalam daur hidrologis. Terbakarnya hutan memberikan dampak hilangnya kemampuan hutan menyerap dan menyimpan air hujan.
  5. Pemanasan global; Kebakaran hutan menghasilkan asap dan gas CO2 dan gas lainnya. Selain itu, dengan terbakarnya hutan akan menurunkan kemampuan hutan sebagai penyimpan karbon. Keduanya      berpengaruh besar pada perubahan iklim dan pemansan global.
  6. Sendimentasi sungai; Debu dan sisa pembakaran yang terbawa erosi akan mengendap di sungai dan menimbulkan pendangkalan.
  7. Meningkatnya bencana alam; Terganggunya fungsi ekologi hutan akibat kebakaran hutan membuat intensitas bencana alam (banjir, tanah longsor, dan kekeringan) meningkat.
Dampak Terhadap Hubungan AntarnegaraAsap hasil kebakaran hutan menjadi masalah serius bukan hanya di daerah sekitar hutan saja. Asap terbawa angin hingga ke daerah lain bahkan mencapai berbagai negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Dampak Terhadap Perhubungan dan Pariwisata. Kebakaran hutan pun berdampak pada pariwisata baik secara langsung ataupun tidak. Dampaknya seperti ditutupnya obyek wisata hutan dan berbagai sarana pendukungnya, terganggunya transportasi, terutama transportasi udara. Kesemunya berakibat pada penurunan tingkat wisatawan secara nasional.
Mengingat sedemikian kompleknya dampak yang diakibatkan oleh kebakaran hutan sudah selayaknya kita semua mewaspadai. Sekalipun tinggal jauh dari hutan, menumbuhkan kesadaran akan bahaya kebakaran hutan mungkin salah satunya.
Strategi dan Pengendalian Kebakaran Hutan
Dalam skala nasional isyu kebakaran hutan mendapat perhatian dari pemerintah antara lain dengan adanya Brigade Kebakaran Hutan (Manggala Agni/GALAAG) dibawah kendali Ditjen PHKA-Dephut RI Pada  tahun  1998,  CIFOR,  the  International  Centre  for  Research  in Agroforestry (ICRAF) dan the United States Forest Service, dengan tambahan dana  dari  Uni  Eropa,  memulai  studi  multi  disiplin  yang  difokuskan  pada delapan  lokasi  rentan  kebakaran  di  Sumatra  dan  Kalimantan,  untuk menentukan  mengapa  kebakaran  bisa  terjadi,  siapa  yang  bertanggung jawab,  bagaimana  cara  api menyebar  dan  jenis  habitat mana  yang  paling berisiko (CIFOR,2001).
Pada skala regional, Taconi   (2003) mengatakan bahwa di   Asia Tenggara keprihatinan  mengenai  dampak  kebakaran  hutan  cukup  signifikan,  yang ditunjukkan  dengan  penandatanganan  Perjanjian  Lintas Batas  Pencemaran Kabut oleh negara-negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada bulan Juni 2002 di Kuala Lumpur.
Di samping  LAPAN,  saat  ini  banyak  stasiun  bumi  dibangun  dan menyediakan  informasi  serupa  (misalnya  satelit  NOAA).  Namun  dalam perjalanannya  ternyata terdapat perbedaan-perbedaan antara  informasi dari LAPAN  dengan  dari  penyedia  informasi  lain.  Perbedaan  yang  dimaksud terutama  menyangkut  jumlah  dan  kejadian  hot  spot.  Atas  dasar  itulah, berdasarkan  Surat  Perintah  Kepala  Pusat  Pengembangan  Pemanfaatan  dan Teknologi  Penginderaan  Jau(No.:  SPRINT/45/VII/03/BJ)  dibentuklah  Tim Verifikasi  dan  Validasi  Metode  Pemantauan  Mitigasi  Bencana  Kebakaran Hutan (Hot Spot) dan Kekeringan
Ditinjau dari sektor kesehatan, strategi pengendalian dampak pencemaran udara akibat kebakaran hutan sebagaimana tertuang dalam Kepmen Kesehatan RI no. 289/MENKES/SK/III/2003, mencakup 3 (tiga) fase prosedur yaitu :
1)      Fase Prabencana
2)      Fase Bencana
3)      Fase Pascabencana Kebakaran Hutan
Taconi,  2003  mengatakan  bahwa  belakangan  ini  kebakaran  hutan semakin  menarik  perhatian  internasional  sebagai  isu  lingkungan  dan ekonomi,  khususnya  setelah  bencana  El  Nino  (ENSO)  1997/98  yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia (FAO 2001; Rowell dan Moore 2001).
Kebakaran  hutan  yang  melanda  Indonesia  pada  tahun  1997/1998 merupakan  bencana  besar  bagi  lingkungan  dan  ekonomi.  Sekitar  10  juta hektar  hutan,  semak  belukar  dan  padang  rumput  terbakar,  sebagian  besar dibakar dengan sengaja. (Cifor,2001). Kebakaran hutan di  Indonesia yang  terjadi  tahun 1997/1998 merupakan kebakaran yang terbesar dalam sejarah kebakaran hutan di dunia. Taconi, 2003 menyebutkan  bahwa  informasi  tentang  luas  dan  lokasi  kebakaran  hutan  pada 1997/98 dikumpulkan dan perkiraan luas kawasan yang dilanda kebakaran hutan direvisi dari 9,7 juta hektar menjadi 11,7 juta hektar.
Syumanda,  R.,  2003  mendapatkan  angka  kerugian  senilai  2  milyar lebih  untuk  sebuah  kebakaran  tidak  lebih  dari  10  hari.  Angka  ini  diperoleh dari  hitungan  bahwa  pada  awal  Juni  ini  kita  sudah menemukan  2.406  titik api. Diasumsikan dengan  resolusi paling  tinggi, 1 titik hotspot mewakili  luas 1.500 m2.
Syumanda,  2005   mengatakan  bahwa  untuk   kebakaran hutan  tahun 2005.  maka  propinsi  Riau  mengalami  kebakaran  terbesar  dibanding  dengan propinsi lainnya. Didasarkan pada data satelit NOAA-12 AVHRR and NOAA-16 AVHRR  pada  Agustus  2005,    ditemukan  i  3258  hotspots  yang  tersebar  di hampir di  seluruh Propinsi Riau kecuali Pekanbaru dan  terindikasi  terjadi di 100-an  perusahaan kehutanan di Riau.
Dari hasil pemantauan WALHI dan beberapa ornop di Sumatera dan Kalimantan menunjukan bahwa sampai tanggal 18 Agustus 2005 di Sumatera terdapat  4482  titik  panas  yang  tersebar  hampir  seluruh  Sumatera  kecuali Bengkulu.  Titik Api terbanyak di Sumatera terdapat di perbatasan Sumatera Utara  dan  Riau  dengan  titik  terbanyak  terdapat  di  Propinsi  Riau (Syumanda,2005) .
Hasil analisis data yang dilakukan WALHI dengan menggunakan data hotspot  yang  dikeluarkan  LAPAN  tertanggal  1  -  18  Agustus  2005  dan ditumpang  tindihkan  (overlay)  dengan   Peta  Pelepasan  Kawasan  untuk Perkebunan,  Peta  Konsesi  HPH  dan  HTI  yang  dikeluarkan  Departemen Kehutanan,  diketahui  kebakaran  terjadi  di  65  konsesi  HTI,   di  100  konsesi perkebunan dan di 31 konsesi HPH. Dengan demikian, peristiwa kebakaran hutan pada bulan Agustus terjadi di 196 konsesi perusahaan kehutanan dan perkebunan (Syumanda, 2005).
  
Pencemaran Udara Akibat Letusan Gunung Berapi
Letusan gunung berapi mengeluarkan beberapa gas yang melimpah diantaranya H2O, CO2, H2S, SO2, CO, HF, dan He. Diantara semua gas tersebut, sulfur dioksida merupakan pencemar udara utama karena selain berpengaruh pada kesehatan, SOjuga menyebabkan anomali cuaca.
  
Gas-gas vulkanik yang menimbulkan potensi bahaya besar untuk manusia, hewan, pertanian, dan material adalah belerang dioksida, karbon dioksida, dan hidrogen fluorida. Secara lokal, gas belerang dioksida dapat mengakibatkan hujan asam dan polusi udara di daerah sekitar gunung berapi. Secara global, letusan gunung berapi yang besar dapat menyuntikkan volume sulfur ke stratosfer yang dapat mengakibatkan suhu permukaan yang lebih rendah dan menimbulkan penipisan lapisan ozon bumi.

Gas karbon dioksida lebih berat daripada udara, sehingga gas dapat mengalir ke daerah dataran rendah dan mengumpul di permukaan tanah. Konsentrasi tinggi gas karbon dioksida di daerah-daerah dapat mematikan bagi manusia, hewan, dan vegetasi. Sebuah letusan gunung berapi  menyemburkan senyawa fluor yang cukup untuk merusak atau membunuh hewan dan melapisi vegetasi dengan abu vulkanik. Senyawa fluor cenderung menjadi terkonsentrasi pada partikel abu halus, yang dapat dicerna oleh hewan.
Tabel: Proporsi gas yang dihasilkan dari letusan gunung
Sumber: Symonds, R.B. 1994. Volcanic gas studies: methods, results, and applications, in Carroll, M.R., and Holloway, J.R., eds., Volatiles in Magmas: Mineralogical Society of America Reviews in Mineralogy. Hlm. 1-66
Sulfur Dioksida
Pengaruh SO2 pada masyarakat dan lingkungan sangat bervariasi tergantung pada:
a.       jumlah gas yang terbuang ke atmosfer
b.      jarak tempuh gas ke atmosfer bumi, troposfer atau stratosfer
c.       angin regional atau global dan pola iklim yang dapat menyebarkan gas

Sulfur dioksida (SO2) adalah gas tidak berwarna dengan bau tajam yang menyebabkan iritasi pada kulit dan jaringan dan selaput lendir mata, hidung, dan tenggorokan. Sulfur dioksida terutama mempengaruhi saluran pernapasan atas. Organisasi kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan konsentrasi SO2 tidak lebih dari 0,5 ppm selama 24 jam untuk pemaparan maksimum. Sebuah konsentrasi 6-12 ppm dapat menyebabkan iritasi langsung dari hidung dan tenggorokan, 20 ppm dapat menyebabkan iritasi mata, dan 10.000 ppm akan membuat iritasi kulit
.Tingkat emisi SO2 dari berbagai gunung berapi aktif mulai dari kurang dari  20 ton/hari sampai lebih dari 10 juta ton/hari sesuai dengan aktivitas gunung berapi, jenis dan volume magma yang terlibat. Sebagai contoh, letusan besar Gunung Pinatubo pada tanggal 15 Juni 1991 mengeluarkan 3-5 km3 magma dan menyuntik sekitar 20 juta metrik ton SO2 ke stratosfer. Sedangkan Gunung Kilauea di Hawaii, letusan baru-baru ini menyemburkan sekitar 0,0005 km3/day (500.000 m3) magma dan menyuntik sekitar 2.000 ton SO2 ke dalam troposfer. Sulfur dioksida mempercepat reaksi kimia bersamaan dengan peningkatan klorin stratosfir sehingga terjadi polusi chlorofluorocarbon yang dapat menghancurkan ozon.

Hidrogen Sulfida
            Hidrogen sulfida (H2S) adalah gas tidak berwarna, mudah terbakar dengan bau yang sangat tajam. Pada konsentrasi rendah H2dapat mengiritasi mata dan mengakibatkan depresi. Pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan atas dan saat terpapar lama dapat mengakibatkan edema paru. Sebuah paparan 30 menit dengan konsentrasi 500 ppm dapat mengakibatkan sakit kepala, pusing, hiperaktif, gaya berjalan yang aneh, dan diare berkepanjangan serta kadang-kadang diikuti oleh bronchitis atau bronchopneumonia.

Karbon Dioksida
Gunung berapi melepaskan lebih dari 130 juta ton CO2 ke atmosfer setiap tahun. Gas ini tidak berwarnatidak berbau, dan biasanya tidak menimbulkan bahaya langsung untuk kesehatan karena biasanya langsung dapat tersebar dengan cepat setelah letusan episodik. Namun dalam kondisi tertentu, CO2 bisa menjadi terkonsentrasi pada tingkat mematikan bagi manusia dan hewan. Gas Karbon dioksida lebih berat daripada udara dan gas bisa mengalir ke dalam dataran rendah. Menghirup udara dengan lebih dari 30% CO2 dengan cepat dapat menyebabkan ketidaksadaran dan menyebabkan kematian.
Udara dengan CO2 6-10% dapat menyebabkan sesak nafas, sakit kepala, pusing, berkeringat, dan gelisah. Konsentrasi 10-15% menyebabkan gangguan koordinasi dan kontraksi otot tiba-tiba, konsentrasi 20-30% menyebabkan hilangnya kesadaran dan kejang-kejang, sedangkan lebih dari 30% dapat menyebabkan kematian.



Comments

Popular posts from this blog

Cara Menghitung Air Buangan (Limbah) Kompleks Perumahan

PANTAI BERLUMPUR

PEMANTAUAN KUALITAS AIR (1)